Selasa, 12 Oktober 2010

UJIAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN AGAMA

Oleh : Bang Moekti

Bismillahirrahmanirrahim.
Secara yuridis penyelenggaraan pendidikan kita dipayungi oleh Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Melihat payung hukum yang begitu kompleknya, maka pemerintah memberikan kebijakan yang belum tentu bijak dengan melakukan berbagai cara diantaranya merumuskan kurikulum dengan segala seluk-beluknya agar tercapainya tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan.
Target pendidikan yang diinginkan pemerintah adalah pendidikan yang menelorkan lulusan-lulusan yang baik dan dapat kompetitif (bersaing) dengan Negara-negara bekembang, bahkan dengan negara-negara maju. Sehingga standarisasi kelulusan yang ditentukan pemerintah setiap tahun mengalami kenaikan bak harga-harga sembako. Untuk tahun 2009 ini saja rata-rata minimal 5,50 jika ingin dinyatakan lulus.
Dengan adanya standar kelulusan tersebut diharapkan dapat menjadi pemicu bagi para peserta didik untuk lebih giat belajar dan bagi para pelaku pendidikan agar dapat mengoptimalkan kinerjanya dalam upaya mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Animo Pelajar Madrasah
Menghadapi Ujian akhir Nasional para siswa mempersiapkan diri dengan berbagai macam aktifitas belajar, baik yang dilaksanakan oleh madrasah-madrasah maupun oleh institusi-institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan guna meningkatkan kemampuan, penguasaan dan keilmuannya. Hampir seluruh civitas madrasah bahkan sekolah-sekolah melakukan persiapan-persiapan dalam menghadapi hajat nasional yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN)- Bukan Hajatan Dangdut Mania. Bahkan sudah mempersiapkan diri dari mulai masuk sekolah.
Fenomena tersebut memang baik dan positif bahkan harus dilakukan, namun sungguh sangat ironis, ketika para pelajar madrasah sibuk dengan persiapan-persiapan ujian, mereka banyak yang melupakan identitas dirinya sebagai pelajar madrasah yang notabene merupakan pewaris ilmu-ilmu agama, namun tidak memeperhatikan lagi bahkan acuh tak acuh terhadap pelajaran-pelajaran agama. Hal ini bukan berarti dilarang untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat umum, tapi ini menjadikan ketidak sinergisan antara kecerdasan intelektual (Intelegensi Quotion) dan kecerdasan emosional (Emosional Quotion) lebih-lebih dengan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotion).
Ancaman dan Akibat
Menurut para ahli pada bidangnya masing-masing, bahwa manusia merupakan makhluk yang unik dan menarik yang diberi kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain didunia ini, dengan keunikan dan kelebihan yang dimiliki makhluk yang bernama manusia, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Kholdun bahwa manusia terlahir membawa bakat-bakat (potensi dasar). Manusia secara fitrah adalah baik dan beraqidah tauhid.
Seandainya kita merujuk dan mengacu pada teori fitrah yang diungkapkan Ibnu Kholdun tersebut, maka pendidikan kita masih sangat jauh dari apa yang dibutuhkan manusia. Terlebih sekarang para pelajar hanya dituntut untuk memiliki kecerdasan intelektual (Intelektual Quotion), padahal kecerdasan intelektual saja tidak akan dapat membawa kemajuan dan kemaslahatan dalam kehidupan tanpa didukung dengan adanya kecerdasan Emosinal (Emosional Quotion) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotion).
Pemerintah dengan segala kebijakannya terhadap pendidikan telah melakukan ketidakadilan dan ketidak harmonisan bahkan tidak konsekuen dengan apa yang telah dicita-citakan dalam undang-undang system pendidikan nasional. Disatu sisi merencanakan dan merumuskan konsep-konsep pendidikan yang mengarah pada potensi- potensi untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, namun disisi lain tidak memunculkan bahkan terkesan menutup-nutupi tentang materi-materi agama.
Hal ini terbukti dengan tidak dimasukannya pelajaran agama dalam pencapaian kelulusan pada ujian akhir nasional. Dan lebih menghawatirkan lagi para pelajar-pelajar madrasah banyak yang tidak memperdulikan lagi pelajaran-pelajaran yang menjadi identitasnya, bahkan menjauhinya karena yang ada dalam pikiran dan hasratnya adalah pelajaran-pelajaran yang di UN-Kan saja.
Apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka lambat laun generasi penerus bangsa ini akan menjadi manusia pemakan manusia (Amnifora) dengan segala intelektualnya, sementara kerdil dan gersang didalam batinya. Kondisi seperti ini diibaratkan orang gila yang memegang pisau, ia akan membabi buta dengan kekuatan teori-teori dan penemuannya.
Maka oleh karena itu, penulis hanya memberikan sebagian kecil aspirasi kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan para pendidik dan pengajar sebagai pelaksana dalam dunia pendidikan agar lebih mensinergiskan tiga kekuatan (power) yang dikaruniakan Allah swt bagi manusia yaitu Intelektual Quotion, Emosional Quotion dan Spiritual Quotion demi terciptanya Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofuur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar