Rabu, 06 Oktober 2010

"MUDIK" KE KAMPUNG AKHIRAT

“MUDIK” KE KAMPUNG AKHIRAT
Oleh : Bang Haji Moekti
Tradisi “Mudik” atau pulang kampung sudah menjadi agenda tahunan bagi masyarakat Indonesia menjelang perayaan ‘Idul Fithri. Berbagai macam keinginan dan tujuan bagi orang yang melaksanakan mudik, ada yang ingin melepaskan rasa rindu akan kampung halaman, famili dan handai tolan karena sudah lama tak bertemu, ada juga yang kangen dengan makanan khas dihari lebaran, bahkan mungkin ada yang ingin “Pamer” kepada sahabat-sahabatnya atas keberhasilannya dinegeri orang. Namun terlepas dari semua itu, dengan perasaan husnu-Dzan, mayoritas para pemudik ingin berkumpul dengan keluarganya dan masyarakatnya pada hari nan fithri sambil berma’af-ma’afan. Lebih dari itu bekal yang dipersiapkan dan dibawa ke kampung halaman cukup berfariatif, dari mulai makanan sampai kado istimewa untuk orang-orang terkasih.
Sudah puluhan ‘Idul Fithri kita lewati, sebanyak itu pula kita merasakan suka dan duka. Setiap ‘Idul Fithri datang, ada saja diantara sanak keluarga, sahabat, tetangga atau seseorang yang kita kenal tidak berlebaran bersama kita. Mereka tidak merayakan ‘Idul fithri, tidak menggemakan takbir, tidak pergi ke Masjid atau pergi ketanah lapang, tidak kita lihat wajah ceria dan gembira, tidak dapat mengulurkan tangan untuk bermaaf-maafan. Mereka telah mendahului kita pulang ke alam baka, mereka telah lebih dahulu “Mudik” ke kampung yang abadi. Tahun ini mereka telah meninggalkan kita. Tahun depan bisa jadi kita yang akan meninggalkan mereka. Hari ini kita menangisi mereka, Esok atau lusa atau mungkin bulan depan kita yang akan ditangisi karib-kerabat dan sahabat. Karena setiap saat maut selalu datang menghampiri, tidak ada satu jiwa pun yang dapat melarikan diri dan menghindar dari kematian. Kematian sebuah keniscayaan dan kepastian yang tak dapat dielakkan. Hal ini dipertegas dengan firman Allah Swt. “ .......Setiap yang berjiwa, pasti akan mengalami kematian” (QS. Al-Anbiya (21): 35 dan QS. Ali Imron (3) : 185) .
Kematian merupakan hak yang pasti dialami oleh semua makhluk hidup. Kematian bukan akhir dari kehidupan, akan tetapi suatu skat atau batas yang menjadi garis transisi untuk memulai kehidupan yang baru dengaan suasana dan kondisi yang baru. Kematian adalah realitas yang tak terelakkan yang pasti akan datang dan akan mengakhiri serial drama kehidupan duniawi bagi setiap individu. Akan tetapi, karena kematian adalah sebuah realitas dan peristiwa pamungkas dari eksistensi kehidupan duniawi ini, maka banyak orang yang enggan bahkan mencoba dan berusaha untuk melupakan, acuh tak acuh dan tak mau memikirkan. dengan alasan bahwa sesuatu yang sudah pasti tidak perlu lagi dipikirkan.
Sebagai umat yang beragama (terutama Umat islam) dalam memandang dan menyikapi kepastian datangnya kematian, hendaknya lebih dewasa dan preventif agar tidak terjebak dalam kegagalan dan kehancuran hidup, maka sikap yang terbaik adalah menyiapkan diri untuk menyambutnya, seperti ketika kita bersiap-siap bahkan menanti datangnya hari pernikahan, hari ualng tahun, hari raya ‘Idul Fithri atau untuk bertamasya/berlibur ketempat yang sudah ditentukan. Kendati demikian, tingkat kepastiannya tidak dapat mengalahkan kepastian datangnya peristiwa kematian. Semakin baik seseorang dalam menyiapkan bekal, maka akan semakin tenang dalam menghadapinya.
Mengutip pendapat Prof.Dr. Komaruddin Hidayat dalam bukunya : Psikologi Kematian; beliau mengilustrasikan: Ada orang yang memandang hidup bagaikan rekreasi dan shopping untuk bekal yang dapat dinikmati dikampung akhirat nanti. Ketika rekreasi dan shopping, jangan membeli barang-barang yang tidak manfaat. Jangan keberatan barang yang malah mempersulit perjalanan pulang. Allah dan Rosul-Nya mengajarkan kita agar selalu berusaha memperberat timbangan kebaikan dari timbangan keburukan.
Ketika pulang dari Shiffin, Sayyidina Ali RA. Melewati pekuburan dipinggiran kota Kuffah. Beliau mengucapkan salam kepada ahli kubur, kemudian menoleh kepada sahabat-sahabatnya, sambil berkata: “ Demi Allah, sekiranya Allah mengizinkan mereka berbicara, mereka akan berkata: Sesungguhnya bekal yang paling baik adalah takwa “.
Bekal inilah yang sering kita abaikan. Setiap hari kita bekerja keras untuk bekal mudik beberapa hari kekampung halaman atau beberapa saat ketempat yang diinginkan. Tidak pernah terpikir bahwa kita harus bekerja keras mempersiapkan bekal mudik ketempat asal kita yang abadi. Bukan untuk beberapa hari, tetapi perjalanan yang jauh dan panjang. Berapa banyak diantara kita yang membanting tulang untuk persiapan masa tua dan pensiun yang hanya beberapa tahun atau beberapa bulan saja; tapi lupa untuk menyiapkan masa yang kekal setelah ajal menjemput kita.
Al-Qur’an melukiskan perilaku kita ketika “mudik” ke kampung akhirat nanti dalam Surat Al-Ghasyiyah (88) : 1-16 :
“ Sudahkah datang kepadamu peristiwa yang mengguncangkan
Wajah-wajah hari itu tunduk ketakutan
Terseok-seok kepayahan
Jatuh kedalam api yang sangat panas
Diberi minum dari mata air yang mendidih
Bagi mereka tidak ada makanan selain duri yang tidak menggemukkan dan tidak melepaskan rasa lapar
Wajah-wajah hari itu ceria dan gembira
Bahagia dengan segala hasil usahanya
Disurga yang tinggi
Takkan kaudengan di sana ucapan yang sia-sia
Di dalamnya ada mata air yang mengalir
Didalamnya ada ranjang-ranjang yang ditinggikan cawan-cawan yang diletakkan
Banta-bantal yang dibariskan
Dan permadani yang dihamparkan”.

Kita tidak tahu, apakah kita termasuk “ wujuhun khosyi’ah” ( wajah-wajah yang ketakutan), atau “wujuhun Na’imah” (Wajah-wajah ceria dan gembira). Dari dua opsi atau pilihan tersebut, tentunya menjadi bahan renungan bagi kita untuk selalu selektif dalam mengoprasikan seluruh potensi yang kita miliki, baik perasaan, ucapan maupun tindakan. Kita rekontruksi lagi seluruh tingkah laku kita yang kerdil dari sentuhan-sentuhan spiritual melalui ibadah puasa selama bulan romadhon, agar perjalanan sebelas bulan kedepan menjadi bekal “Mudik” ke kampung akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar