Rabu, 20 Oktober 2010

BAPAKKU SIAPA?

Oleh : Bang Haji Mukti
Ada seorang anak bertanya pada ibunya
Siapa bapakku, dimana adanya?
Kapan ia pulang kerumah untuk hidup bersama
Kesepian dan kekeringan yang selalu melanda

Ibunya menjawab dengan perasaan hampa
Teriris rasa menusuk jiwa
Menahan pilu tergambar dalam wajah
Kini hidupku berperang melawan masa
Yang tak kenal dengan keluarga

Potongan puisi diatas menjadi gambaran kondisi kehidupan dalam keluarga yang mengharapkan dan menantikan perhatian, bimbingan serta arahan dari seorang ayah sebagai figur pemimpin dalam keluarga. Ketika gambaran (tamsil) tersebut dikonotasikan dengan sebuah negara, wilayah atau kota, maka akan menjadi bom waktu bagi masyarakat, terutama masyarakat yang termarjinalkan dengan kebijakan-kebijakan yang kurang bijak. Sebagai bahan renungan, ketika SPP sekolah digratiskan bagi orang-orang kaya yang uang sakunya cukup untuk biaya sekolah, buku-buku pelajaran diberi dengan cuma-cuma yang mungkin akan masuk kedalam bak sampah.
Sangat ironis sekali, disatu sisi ada tuntutan untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan atau paling tidak dapat menyamakan dengan sekolah-sekolah lain, disisi lain ada kekerdilan pemikiran dan perhatian terhadap orang-orang yang jauh lebih memerlukan dan membutuhkan. Jangan sampai terjadi “Itik mati kehausan diatas air, ayam mati kelaparan di dalam lumbung”.
Program 100 hari kerja pemerintah Kota Cilegon merupakan planing kerja yang sangat berilian dan inovatif melihat kebutuhan-kebutuhan masyarakat, terutama dalam sektor pendidikan, namun dibalik itu sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah bagaikan anak ayam yang kehilangan induk. Kami sering diberi tahu bahwa bapakmu ada di Departemen agama yang sekarang berganti nama Kementerian Agama. Secara jujur harus diakui, bahwa kementerian agama adalah bapak dari sekolah-sekolah agama. Akan tetapi merujuk pada Undang-Undang dasar 1945 sebgai “Kitab Suci” negara kita mengamanatkan dalam pasal 34 : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita agar jangan sampai menyia-nyiakan fakir miskin apalagi menghardiknya, karena barang siapa yang menghardik dan tidak memberi makan atau tidak menyuruh untuk memberi makan terhadap fakir miskin berarti telah mendustakan agama. sebagaimana yang tertuang dalam QS. 107:1-3. Dalam ayat ini Allah swt menceritakan sifat-sifat tercela, yaitu mereka yang menghina anak yakim, menghardiknya dengan kasar dan tidak mengerjakan kebaikan, walaupun mereka telah diingatkan tentang hak fakir miskin. Dalam Kitab Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan kisah Abu Suyan bin Harb yang biasa berkurban tiap minggu dengan menyembelih dua ekor unta. Suatu ketika datang kepadanya seorang anak yatim hendak meminta dagingnya. Abu Sufyan menghardiknya sambil memukulkan tongkat kepadanya.”
Beberapa hari yang lalu surat kabar Republika (06/10/2010) memuat berita tentang pernyataan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh, mengatakan bahwa kepedulian perusahaan dari program Corporate Social Responsibility (CSR) dapat memotong mata rantai siswa putus sekolah. Lebih lanjut Mendiknas menyatakan , Kemdiknas mempunyai database siswa miskin dan prestasi, Nantinya database itu dapat diserahkan kepada CSR perusahaan untuk membantu memberikan bantuan pendidikan kepada siswa yang belum terlayani pendidikannya. “Paling tidak CSR perusahaan dapat membantu siswa miskin di sekitar lingkungan mereka”.
Merujuk pada al-Qur’an dan UUD ’45 serta pernyataan Mendiknas bahwa fakir miskin (siswa miskin) harus mendapatkan perhatian yang serius terutama dalam sektor pendidikan, memberi mereka kesempatan untuk meng-“install” ilmu pengetahuan dan menyuapi pikiran dengan “makanan” yang bergizi. karena dengan pendidikan mereka akan memiliki modal untuk berkompetisi dalam bekerja dan berkarya, sehingga dapat mencari dan memenuhi segala kebutuhannya. Hal ini sejalan dan sejalin dengan sebuah ungkapan “Berilah kami kail, jangan beri kami ikan”.
Bukan maksud untuk merendahkan apalagi menghina, bahwa fenomena fakir miskin dalam lembaga pendidikan banyak ditemukan disekolah-sekolah keagamaan (madrasah) dibanding dengan sekolah-sekolah umum, terlebih-lebih yang berstatus swasta. Ini agar menjadi data pemikiran bagi pemerintah dan pelaku pendidikan atau masyarakat pendidikan.

Solusi dan Harapan
Melirik program Wali Kota Cilegon yang lama (Bapak H.Tb.Aat Syafaat, s.sos, M.Si) tentang program bea siswa Keluarga Miskin (Gakin) yang sampai sekarang masih terus berjalan merupakan program yang sangat tepat dan akurat, baik dari sisi obyek sasaran maupun dari segi mekanisme pelaksanaannya. Di lapangan kami merasa tenang dan senang, tidak negatif thinking dan tidak merasa dianak tirikan, karena “bapakku” (pemerintah) tidak memandang sebelah mata.
Langkah itu sepatutnya kita jadikan contoh dan barometer, agar apa yang kita lakukan tepat pada orang yang memerlukan dan membutuhkan, karena jabatan itu amanat, maka barang siapa yang menyia-nyiakan amanat berarti hianat dan barang siapa yang hianat, maka akan mendapat laknat. Naudzubillahi min dzalik.
Saya yakin kepada pemerintah sekarang akan dapat menjalankan amanat dengan tepat yang disinari sifat-sifat para malaikat dalam membidik sasaran dengan panah-panah plaining yang dibingkai dengan UUD ’45 dan dibugkus dengan ajaran-ajaran qur’ani. Ini terbukti dengan sikap jantannya meminta untuk dikontrol pers dalam menjalankan tugasnya yang disampaikan dalam acara diskusi jurnalistik dengan wartawan beberapa hari yang lalu di Patra Anyar Beach Resort. Dengan sikap terbuka dari seorang pemimpin, maka Solusi akan menjadi prestasi, harapan akan menjadi kenyataan, perjuangan akan melahirkan pahlawan, dengan berlandaskan al-Qur’an. Marilah kita pikul bersama beban yang berat dan kita jinjing bersama beban yang ringan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar