Senin, 15 November 2010

MENSYUKURI NIKMAT DAN MEMBINA UMAT

Oleh : H. Muktilah, S.Ag, MM.Pd

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu
Atas rahmat dan karunia Allah swt, kini kita berjumpa kembali dan berada dalam bulan-bulan yang penuh dengan rahmat dan hidayah Allah swt. Dan juga penuh dengan peninggalan nilai-nilai luhur dan sejarah, oleh karena itu marilah kita senantiasa bertaqwa kepada Allah swt dengan sebenar-benarnya taqwa; yaitu taat menjalankan semua perintah Allah dan berusaha meninggalkan semua apa yang dilarangnya, baik dalam keadaan susah atau gembira, di waktu lapang atau sempit, dan juga dalam keadaan ramai atau sepi, sebab taqwa merupakan kewajiban bagi semua umat islam yang tidak boleh ditunda-tunda, agar kita selalu mendapatkan ridho Allah swt.
Dan Alhamdulillah pula usia kita dipanjangkaan oleh Allah swt sampai bertemu kembali dengan bulan ke-12 yaitu bulan Dzuhijjah atau bulan kurban, dimana bulan ini termasuk Arba’atu Hurum (Empat bulan yang dimuliakan). Karena Dzulhijjah bulan mulia, maka didalamnya terdapat berbagai paket amal yang khusus, yang tidak terdapat pada bulan-bulan yang lain, seperti haji, ibadah qurban dan lain-lain.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah membawa risalah kebenaran dari Allah, sehingga kita dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram, antara yang hasanah dan yang sayi’ah.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu
Dalam kesempatan yang baik ini, marilah kita mencoba menggali hikmah yang terkandung dalam bulan ini dengan mengumandangkan kalimat takbir, tahlil, tahmid dan tasbih yang kesemuanya merupakan kalimat tauhid, kalimat yang mencerminkan kemandirian Allah dalam setiap ihwalnya. Kalau kaum muslimin dalam merayakan Idul Adha ini dianjurkan untuk memperbanyak mengumandangkan kalimat-kalimat tersebut, maksudnya agar kaum muslimin tetap sadar dalam menjalani kehidupan ini. Betapapun besar tantangan, rintangan, hambatan dan cobaan serta ujian yang harus dihadapi, kita harus tetap tegar dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip tauhid. Kita tidak boleh bergeser sedikitpun dari akidah dan pandangan hidup yang kita yakini, yaitu inna sholati wa nusuki wa mahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu
Perlu disadari, jika Allah telah menggariskan keputusan-Nya dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56 bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang dilakukan manusia bukan untuk manfaat dan keuntungan Allah, tetapi sebaliknya semua yang dilakukan akan dikembalikan lagi kepada orang yang melakukannya sebagai bekal saat kembali menuju kehidupan akhirat.
Makin meningkat ibadah seseorang, makin meningkat pula manfaat dan keuntungan yang diiperolehnya, dan makin meningkat pula martabat serta kedudukannya, baik dihadapan sesama maupun dihadapan Allah swt. Sesuai dengan firman Allah QS. Al-Hujurat: 13
Aqidah yang kokoh dan benar akan melahirkan ibadah yang tulus dan benar. Ibadah yang tulus lagi benar akan melahirkan pribadi yang luhur yakni memiliki akhlakul karimah. Dan pribadi yang luhur, tentu akan melahirkan ketenangan dan kesejahteraan dalam kehidupan sesama.
Tiada jalan untuk membina dan membangun umat ini melainkan jalan yang telah diridhoi Allah swt. Jalan yang pernah dirintis oleh para Nabi dan Rasul terdahulu. Yaitu dengan membina dan meluruskan aqidah yang sesat atau keyakinan yang menyimpang dari garis-garis kebenaran. Paling tidak ada enam prinsip mendasar yang harus kita lakukan sebagai upaya pembinaan umat, yaitu:
1. Pembinaan itu harus dimulai dari diri sendiri (Ibda’ bin Nafsik). Kita harus bangkit dan membangkitkan semangat diri kita kembali, siap dan bersedia menerima kebenaran ilahi. Tekad dan semangat itu harus tumbuh dari diri kita masing-masing. Kita mesti benar-banar menyadari akan kelemahan dan kekurangan serta ketidak berdayaan kita. Sadar bahwa diri kita ini sebagai rentetan dari perjuangan demi perjuangan.
2. Bersedia mengagungkan dalam makna yang sebenarnya. Bukan hanya dengan lisan atau ucapan, tetapi dengan sikap dan perbuatan, kapan dan dimana saja kita berada. Sehingga seluruh sikap dan pola hidup kita mencerminkan sebagai seorang hamba yang mengagungkan sang Kholiknya. Segenap petunjuk Allah kita jadikan tuntunan dan pedoman bukan sebagai tontonan. Ajaran dan syariahnya kita jadikan sebagai tatanan dan aturan bukan sebagai ancaman dan hinaan. Ridho allah senantiasa sebagai acuan dan dambaan bukan sebagai ilusi dan hayalan.
3. Bersedia membersihkan pakaian hidup dari berbagai noda dan kotoran. Budaya, prilaku, pola, gaya, pandangan dan falsafah hidup yang tidak diridhoi Allah harus segera ditanggalkan dan ditinggalkan, satu-satunya yang harus dikenakan adalah libasut taqwa (pakaian ketaqwaan), sehingga dapat menuntun kita pada kemudahan-kemudahan, keberhasilan dan kesejahteraan serta kenyamanan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
4. Bersedia menyingkirkan dan menjauhkan berbagai kemaksiatan dalam berbagai bentuknya; sikap membangkang, angkuh, sombong dan sifat-sifat jelek lainnya, seperti perzinahan, mabuk-mabukan, pencurian dalam berbagai bentuknya harus disingkirkan jauh-jauh. Terutama syirik dalam bebagai wujudnya, karena semua itu bukan hanya akan mengotori peribadatan kita, lebih dari itu justru akan mendatangkan dosa dan malapetaka bagi kehidupan.
5. Tulus dalam berkorban. Perjuangan apapun bentuknya dan betapapun kecilnya pasti memerlukan pengorbanan. Oleh karena itu, jiwa pengorbanan harus senantiasa ditumbuh suburkan dan dikembangkan. Sikap kesediaan berkorban bagi kaum muslimin sebenarnya telah menyatu dengan akidahnya ketika ia mengucapkan kalimat tauhid, sejak itulah ia telah bersedia mengorbankan harta, jiwa dan raganya yang merupakan transaksi antara seorang hamba dengan tuhannya.
6. Bersikap sabar, tabah, tegak dan tegar serta istiqomah dalam menjalankan aturan-aturan agama, sikap ini perlu terus ditanamkan di hati kaum muslimin agar kualitas hidup dan kehidupan semakin meningkat.

Prinsip-prinsip seperti itulah yang telah dijalankan oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam menjalankan segala perintah-Nya. Seperti kisah Nabi Muhammad saw dan Nabi Ibrahim As yang telah banyak menghiasi Al-Qur’an dan dinyatakan oleh Allah swt sebagai uswatun hasanah, yaitu dalam QS. Al-Ahzab : 21

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجوا الله واليوم الأخر وذكر الله كثيرا.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Dan QS. Al-Mumtahanah: 24
لقد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه.....

“Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia…….”

Nampak jelas dalam dua ayat itu, bahwa Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim serta orang-orang yang bersamanya merupakan panutan dan cerminan bagi kita umat islam dalam segala aspek kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Dalam QS. Ash-Shoffat : 102 ditegaskan pula, bahwa ketika Nabi Ibrahim menerima wahyu untuk menyembelih putranya yang bernama Ismail, beliau menyatakan:

فلما بلغ السعي قال يبني إني أرى في المنام أني اذبحك فانظر ماذا ترى

“Wahai anakku, sesungguhnya saya menerima wahyu untuk menyembelih kamu, bagaimana pendapatmu?”

Meskipun Nabi Ibrahim mempunyai kekuasaan terhadap putranya secara penuh, tetapi beliau tidak memaksakan isi wahyu itu kepada putranya, beliau memberikan kesempatan untuk berfikir dan memberikan kebebasan untuk mengungkapkan pendapat.
Tindakan Nabi Ibrahim semacam ini perlu dijadikan cermin dan ibrah bagi orang tua, pendidik maupun penguasa. Orang tua jangan sekali-kali memaksakan suatu kehendak sendiri kepada anaknya, mereka harus diajak berfikir secara rasional, bukan diktator yang diajarkan kepada mereka. Seorang guru harus dapat menjadi contoh dan memberikan pengetahuan tentang berpendapat dan menghargai pendapat orang lain. Dan bagi penguasa, hendaknya memberikan keputusan dan kebijakan yang dapat menguntungkan rakyatnya, mementingkan kepentingan masyarakat diatas kepentingan sendiri atau golongan.
Kita kaji secara mendalam bahwa sewaktu Nabi Ibrahim memperbaiki ka’bah maupun sewaktu akan menyembelih putra kesayangannya, tidak terlepas dari tiga unsur, yaitu Nabi Ibrahim dari unsur angkatan tua, Nabi Ismail dari unsur angkatan muda dan Siti Hajar dari unsur angkatan wanita.
Demikian pula kita hidup di tengah-tengah masyarakat untuk dapat terwujudnya pembangunan fisik maupun mental, tidak boleh meninggalkan salah satu dari ketiga unsur itu. Karena memang ketiga-tiganya merupakan bagian terbesar dari unsur-unsur yang lain.
Dalam rangka regenerasi dan pengkaderan, sebaiknya memang anak-anak kita harus diberi kepercayaan untuk menerima estafet dari apa yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya.
Demikianlah prinsip-prinsip dan ibrah yang perlu diperhatikan kembali dan dikaji ulang dalam rangka membina diri dan umat agar kita selamat di dunia dan akhirat. Semoga Idul Adha tahun ini mampu menggugah dan membangkitkan kesadaran dan kealpaan kaum muslimin untuk bangkit dan tampil sebagai khairul ummah dalam menata kehidupan. Dan semoga menjadi tameng dan benteng kehidupan dari berbagai macam ujian, cobaan, bencana dan malapetaka yang akhir-akhir ini melanda ibu pertiwi.
Akhirnya semoga khutbah singkat ini dapat dijadikan sebagai Watawa Saubil Hak Watawa Shaubis Shobr. Amin Ya Robbal ‘alamin.

جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين. وادخلنا واياكم في زمرة عباده المجاهدين. أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. إنا أعطينا كالكوثر. فصلّ لربك وانحر. إنّ شانئك هو الأبتر. وقل ربّ اغفر وارحم وانت خير الرّاحمين.

Sabtu, 30 Oktober 2010

KETAKWAAN SEBAGAI ENERGI SPIRITUAL DALAM MEMBINA MORAL BANGSA

KETAQWAAN SEBAGAI ENERGI SPIRITUAL
DALAM MEMBINA MORAL BANGSA
Oleh : H.Muktillah, S.Ag, MM.Pd


الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر
الحمد لله المنعم على من أطاعه واتّبع رضاه المنتقم على من خالفه وعصاه الذى يعلم ما أظهره العبد ومااخفاه المتكفّل بإرزاق عباده فلا يترك احدا منهم ولا ينساه. أحمده سبحانه وتعالى على مااعطاه. أشهد أن لا اله إلاّ الله وحده لا شريك له وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله الّذى اختاره الله واصطفاه. اللّهمّ صلّ وسلّم على سيّدنا محمّد وعلى اله وصحبه زمن وّالاه. أمّا بعد
فياأيهاالناس اتقوا الله حقّ تقواه واعلموا أنّ يومكم هذا يوم عظيم, وعيد كريم, احلّ الله لكم فيه الطعام وحرّم عليكم فيه الصّيام فهو يوم تسبيح وتحميد وتهليل وتعظيم وتمجيد. فسبّحوا ربّكم فيه وعظّموه وتوبوا إليه واستغفروه.

Hari ini kita menang lagi. Kita penuhi dan gemakan takbir, tauhid dan tahlil untuk merayakan kemenangan ini. Perasaan kita hari ini seperti perasaan seorang pengembara yang menemukan oase ditengah gurun. Ramadhan adalah oase iman yang menghapus dahaga spiritual kita selama sebelas bulan. Perasaan kita hari ini seperti perasaan seorang petani dihari panen: Bibit yang ia tanam kini berbuah, dan lelah yang mendera tubuh saat menanam hilang lenyap di saat panen. Ramadhan adalah musim semi kebaikan: Diawal, ditengah dan diakhirnya kita menanam, dan hari ini kita menuai maghfirah, rahmah dan pembebasan dari neraka. Kita kembali ke fitrah.
Diujung setiap perjuangan yang panjang, kelelahan-kelelahan yang kita rasakan, selama itu akan hilang saat kita memetik buah. Seperti hari ini, lapar dan dahaga itu lenyap seketika. Karena itu pikiran tentang menemukan oase bagi seorang pengembara gurun, atau memanen buah bagi petani, meraih kemenangan bagi seorang pejuang, akan memberikan energi kerja yang sangat dahsyat. Energi itulah yang membuat kita kuat menghalau rintangan, melawan tekanan, menolak godaan, memikul beban dan menikmati kelelahan.
Pikiran tentang kemenangan akhir adalah pelajaran spiritual paling penting yang kita pelajari dari puasa. Pikiran ini mampu membuat kita menunda kepuasan-kepuasan sementara yang sering menggoda dan menyesatkan serta menggantinya dengan kesabaran menanti kepuasan-kepuasan akhir yang lebih besar,lebih lama dan lebih permanen. Yang menyesatkan manusia didunia ini sesungguhnya adalah tergesa-gesa untuk merasakan kenikmatan dunia. Mereka misalnya mengejar dunia walaupun dengan cara korupsi, atau menjual diri bahkan bangsa. Mereka tidak bisa menunda kepuasan sementara dan menggantinya dengan kepuasan yang lebih besar dan permanen diakherat nanti. Seperti yang telah disinyalir oleh Allah dalam al-qur’an surat al-qiamah ayat: 20-21


“sekali-kali tidak(janganlah demikian) sebenarnya kami (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akherat.

Pikiran tentang kemenangan akhir itu membuat kita merasa bahwa apa yang kita korbankan hari ini sebenarnya tidaklah bernilai apa-apa dibanding dengan kenikmatan akhir yang akan kita peroleh di surga. Itu akan dapat memberikan keringanan jiwa untuk berkorban lebih banyak dan bekerja lebih giat.
Jika kita mampu melawan ketergesa-gesaan itu dan senantiasa berfikir tentang kemenangan-kemenangan akhir, maka kita akan menemukan energi spiritual yang dahsyat untuk menghadapi tantangan-tantangan kehidupan yang lebih besar, meremehkan godaan-godaan duniawi yang kerdil, melawan tekanan-tekanan kekalahan dan kegagalan sesaat, dan pada waktu yang sama, memberikan kita perasaan bermartabat serta harga diri yang tinggi. Energi spiritual itu memberikan kesabaran yang lebih panjang, stamina perjuangan yang tahan lama, ketuhanan dan ketegaran hati yang lebih kuat, rasa percaya diri yang tinggi sebagai pemenang akhir.

Allahu Akbar 3x Walilahilham
Sekarang, sekarang ini, kita membutuhkan energi spiritual itu untuk membangun kembali moral dan budi pekerti bangsa kita yang porak-poranda diterpa badai materialisme. Sekarang ini, kita membutuhkan energi spiritual itu untuk menyembuhkan masyarakat kita dari berbagai penyakit sosial seperti pelacuran, narkoba dan perjudian. Sekarang, sekarang benar, kita membutuhkan energi spiritual itu untuk memperbaiki nasib bangsa kita yang malang begini, yang terpuruk begini, yang miskin, bodoh dan terbelakang, yang bahkan tidak berdaya melepas diri dari belenggu krisis. Sekarang, sekali lagi sekarang, kita membutuhkan energi spiritual itu untuk melawan tirani dan korupsi yang semakin merajalela dan terbuka.
Ibarat sebuah kapal, bangsa kita saat ini menghadapi badai krisis multidimensi. Tapi sebagai penumpang kapal itu justru asyik berjudi dan melacur, sementara penumpang lainnya sibuk menjarah uang negara dan rakyat. Lebih dari itu, sang nahkoda bahkan tidak pernah tahu kemana sebenarnya arah perjalanan kapal kita. Ada orang-orang baik didalam kapal itu tapi mereka seperti tidak tahu harus berbuat apa. Dan jika mereka tahu harus berbuat apa, mereka tidak punya cukup energi spiritual untuk melakukan apa yang harus merek lakukan. Terlalu banyak ironi dalam kapal itu. Para koruptor menjadi orang-orang terhormat. Orang-orang linglung menjadi nahkoda kapal. Para reformis terkucil dan terisolasi.
Mungkin bukan krisis multi dimensi ini benar yang kita resahkan. Mungkin bukan keterpurukan benar yang kita risaukan. Mungkin bukan 40 juta penganggur, atau korupsi 30 persen dari anggaran, atau pelacuran, atau pengedaran narkoba atau perjudian, yang memilukan hati kita. Tapi yang lebih meresahkan, merisaukan dan memilukan hati adalah bahwa ketika itu semua terjadi justru mengalami kelangkaan nilai-nilai ketaqwaan kepada Allah swt.
Itu yang membuat kita tampak lucu dalam sejarah: bahwa tantangan-tantangan kita terasa lebih besar dari kapasitas kita, bahwa orang-orang indonesia tampak terlalu kerdil untuk persoalan-persoalan yang mereka hadapi, bahwa negeri yang dulu dilukiskan oleh Multatuli sebagai “Zamrud Katulistiwa” atau oleh Syeh Ali Al-Tantawi sebagai “Sepenggal Firdaus dibumi”. Akan hancur ditangan bangsanya sendiri yang terlalu kerdil untuk menghadapi persoalan-persoalan besar.
Energi spiritual yang kita peroleh selama bulan Ramadhan adalah energi ketaqwaan. Energi taqwa inilah yang semestinya harus dimiliki oleh setip orang (pahlawan) yang ingin memberantas kebathilan. Karena puasa yang telah kita jalankan selama sebulan penuh tiada lain hanyalah untuk menjadikan manusia-manusia yang memiliki nilai-nilai ketaqwaan. Walaupun memang ketaqwaan tidak cukup didalam lisan saja, tapi harus dapat direalisasikan dalam bentuk yang konkrit (nyata).

Allahu Akbar 3x Walillahilham
Hadirin jama’ah sholat Id yang berbahagia.
Taqwa memiliki makna yang cukup kompleks, kalau kita lihat dari segi bahasa taqwa mengandung makna:

1. Tawadhu (rendah hati) dan Tawakkal
Tawadhu adalah suatu cahaya yang esensinya merupakan inti kepercayaan (iman), yang berarti pertimbangan yang cermat dan matang dalam menghadapi sesuatu yang dicela . Orang yang memiliki sifat rendah hati akan selalu berbuat baik pada orang lain dan tidak sombong atau angkuh dengan apa yang ia miliki. Karena ia merasa bahwa segala apa yang ada pada dirinya adalah semata-mata titipan dari Allah swt.
Sementara, makna kata tawakal secara harfiyah mempunyai pengertian sebagai penyerahan diri kepada Allah swt. Tidak merasa gentar terhadap kekuasaan duniawi, tidak pernah mengenal putus asa kepada rahmat Allah, tidak takut kehilangan kursi jabatan, pangkat kedudukan karena mempertahankan prinsip iman dan akidahnya.
Bagi orang yang tawakal menilai kehidupan dunia yang penuh glamour dan kemewahan hanyalah sesuatu yang datang untuk sementara. Hidup ini bagi seorang mukmin yang tawakal tidak lebih kecuali sebagai roda, sekali di bawah sekali di atas. Dalam kaca mata orang tawakal, kekuasaan seseorang itu selalu mengacu neracanya pada firman Allah swt QS.Ali Imran: 26



“Ucapkanlah “wahai Tuhan pemilik kekuasaan, kau limpahkan kekuasaan kepada siapa yang engkau kehendaki, dan engkau berkuasa merenggut kekuasaan itu dari siapa yang engkau kehendaki, kau berikan kemulyaan kepada siapa saja yang engkau kehendaki, dan engkau sangat berkuasa untuk menimpahkan kehinaan kepada siapa yang kau kehendaki. Dalam tanganMu segala kebaikan. Sungguh engkau maha kuasa atas segala sesuatu”.

Al-Qur’an al-Karim sangat menekankan unsur tawakal kepada Allah sebagai salah satu unsur psikologi yang dapat memberi inspirasi tentang kepercayaan diri dan ketenangan, dan menjauhkan rasa takut, sebagai salah satu cara untuk memiliki kekuatan. Sebab, tawakal melindungi seseorang dari kegelisahan jiwa yang merusak dan membangkitkan perasaan lemah dalam menghadapi kekuatan manusia atau alam yang memberikan ancaman diluar batas kemampuannya. Dengan demikian tawakal merupakan unsur pelindung dari ancaman sesuatu yang tidak diketahui atau tidak terlihat.

2. Qona’ah (Merasa Cukup)
Dalam upaya menciptakan kekuatan untuk melawan para penjajah dan kaum penindas serta orang-orang yang selalu membuat kebatilan dan kejahatan, hendaknya kita memiliki makna inti yang kedua dari taqwa yaitu sifat Qona’ah dan menjauhkan diri dari rasa tamak, yang membuat seseorang terdorong untuk membutuhkan orang lain, dan lemah menghadapi tuntutan kebutuhannya yang tidak pernah berhenti pada satu batas.
Rasa cukup terhadap apa yang ada pada diri sendiri, merupakan ungkapan tentang kecukupan diri sehingga membuat seseorang tidak mengerahkan kemampuan dan potensinya untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan dan disukainya sampai diluar batas aturan agama.

3. Warra’ (kehati-hatian dalam memilih sesuatu)/selektif
Kata warra’ secara tersurat tidak terdapat dalam al-quran. Secara harfiyah, warra’ diartikan menahan diri, berhati-hati atau menjaga diri supaya tidak terjatuh pada kecelakaan. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam “Madarij as-Salikin” mengutip al-qur’an surat al-Muddatsir ayat 4 sebagai dasar perintah untuk Warra’ :

“ Dan pakaianmu, bersihkanlah”.

Menurut Qotadah dan Mujahid : Makna ayat ini ialah bahwa kita diperintahkan untuk membersikan diri dari perbuata-perbuatan jahat dan maksiat (dosa).

4. Istiqomah
Istiqomah dapat diterjemahkan sebagai bentuk kualitas batin yang melahirkan sikap konsisiten dan teguh pendirian untuk menegakkan dan membentuk sesuatu menuju kesempurnaan atau kondisi yang lebih baik.
Abu Ali ad-Daqqaq berkata: “ Ada tiga derajat dalam pengertian Istiqomah, yaitu menegakkan atau membentuk sesuatu (Taqwim), Menyehatkan dan meluruskan (Iqomah) dan berlaku lurus (Istiqomah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa, Iqomah berkaitan dengan penyempurnaan dan Istiqomah berhubungan dengan tindakkan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Sikap Istiqomah menunjukkan kekuatan iman yang merasuki seluruh jiwa, sehingga tidak mudah goncang atau cepat menyerah pada tantangan, halangan dan rintangan serta tekanan. Orang yang memiliki jiwa istiqomah adalah type manusia yang merasakan ketenangan luar biasa, walau secara dhohiriyah terkadang kelihatan gelisah. Mereka merasa tentram dikarenakan seluruh rangkaian ibadahnya didasari cinta (mahabbah) kepada Allah swt. Sehingga tidak ada rasa takut apalagi keraguan. Sebagaimana firman Allah QS. Ali Imran : 139

“ Janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang tinggii derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman”.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamd
Hadirin Jamaah Sholat Id Rahimakumullah
Demikianlah makna ibadah puasa kita yang dilakukan selama sebulan penuh, sungguh merupakan suatu training (latihan) yang tinggi bagi mental dan fisik manusia. Juga merupakan gelanggang perjuangan yang maha hebat untuk mengatasi dan mengendalikan hawa nafsu yang menjadi sumber kehinaan dan kebinasaan manusia. Dan yang paling utama, puasa merupakan materi ujian ketaatan manusia kepada Allah swt. Karena dengan ibadah puasa yang baik danbenar akan mendapat predikat ketaqwaan dan renking utama kemulyaan mausia. Dengan ketaqwaan inilah hidup yang dipenuhi berbagai macam kedhaliman, kerakusan, kemaksiatan dan kemungkaran akan dapat diatasi, atau paling tidak dapat di netralisir. Seperti yang digambarkan dalam QS. Al-A’raf : 96


“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Dan Allah juga telah memberikan kepastian dan keyakinan kepada hambanya yang bertakwa berupa identitas yang layak lagi baik, seperti dalam QS. Al-Hujuraat : 11

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Oleh karena itu, dihari yang fitri ini marilah kita memperbanyak takbir, tahmid dan tahlil. Semoga Allah swt memberikan kemenangan yang hakiki serta menerima segala amal ibadah kita pada bulan romadhan, sehingga kita memperoleh predikat Taqwa yang sebenar-benarnya. Dan semoga Allah melimpahkan perlindungan dan hidayahnya kepada kita dalam menjalankan aktifitas-aktifitas kita pada bulan-bulan yang akan datang, semoga kita dapat menghadapi kedholiman-kedholiman di negeri yang kita cintai ini. Amiin.

Rabu, 20 Oktober 2010

BAPAKKU SIAPA?

Oleh : Bang Haji Mukti
Ada seorang anak bertanya pada ibunya
Siapa bapakku, dimana adanya?
Kapan ia pulang kerumah untuk hidup bersama
Kesepian dan kekeringan yang selalu melanda

Ibunya menjawab dengan perasaan hampa
Teriris rasa menusuk jiwa
Menahan pilu tergambar dalam wajah
Kini hidupku berperang melawan masa
Yang tak kenal dengan keluarga

Potongan puisi diatas menjadi gambaran kondisi kehidupan dalam keluarga yang mengharapkan dan menantikan perhatian, bimbingan serta arahan dari seorang ayah sebagai figur pemimpin dalam keluarga. Ketika gambaran (tamsil) tersebut dikonotasikan dengan sebuah negara, wilayah atau kota, maka akan menjadi bom waktu bagi masyarakat, terutama masyarakat yang termarjinalkan dengan kebijakan-kebijakan yang kurang bijak. Sebagai bahan renungan, ketika SPP sekolah digratiskan bagi orang-orang kaya yang uang sakunya cukup untuk biaya sekolah, buku-buku pelajaran diberi dengan cuma-cuma yang mungkin akan masuk kedalam bak sampah.
Sangat ironis sekali, disatu sisi ada tuntutan untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan atau paling tidak dapat menyamakan dengan sekolah-sekolah lain, disisi lain ada kekerdilan pemikiran dan perhatian terhadap orang-orang yang jauh lebih memerlukan dan membutuhkan. Jangan sampai terjadi “Itik mati kehausan diatas air, ayam mati kelaparan di dalam lumbung”.
Program 100 hari kerja pemerintah Kota Cilegon merupakan planing kerja yang sangat berilian dan inovatif melihat kebutuhan-kebutuhan masyarakat, terutama dalam sektor pendidikan, namun dibalik itu sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah bagaikan anak ayam yang kehilangan induk. Kami sering diberi tahu bahwa bapakmu ada di Departemen agama yang sekarang berganti nama Kementerian Agama. Secara jujur harus diakui, bahwa kementerian agama adalah bapak dari sekolah-sekolah agama. Akan tetapi merujuk pada Undang-Undang dasar 1945 sebgai “Kitab Suci” negara kita mengamanatkan dalam pasal 34 : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kita agar jangan sampai menyia-nyiakan fakir miskin apalagi menghardiknya, karena barang siapa yang menghardik dan tidak memberi makan atau tidak menyuruh untuk memberi makan terhadap fakir miskin berarti telah mendustakan agama. sebagaimana yang tertuang dalam QS. 107:1-3. Dalam ayat ini Allah swt menceritakan sifat-sifat tercela, yaitu mereka yang menghina anak yakim, menghardiknya dengan kasar dan tidak mengerjakan kebaikan, walaupun mereka telah diingatkan tentang hak fakir miskin. Dalam Kitab Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan kisah Abu Suyan bin Harb yang biasa berkurban tiap minggu dengan menyembelih dua ekor unta. Suatu ketika datang kepadanya seorang anak yatim hendak meminta dagingnya. Abu Sufyan menghardiknya sambil memukulkan tongkat kepadanya.”
Beberapa hari yang lalu surat kabar Republika (06/10/2010) memuat berita tentang pernyataan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh, mengatakan bahwa kepedulian perusahaan dari program Corporate Social Responsibility (CSR) dapat memotong mata rantai siswa putus sekolah. Lebih lanjut Mendiknas menyatakan , Kemdiknas mempunyai database siswa miskin dan prestasi, Nantinya database itu dapat diserahkan kepada CSR perusahaan untuk membantu memberikan bantuan pendidikan kepada siswa yang belum terlayani pendidikannya. “Paling tidak CSR perusahaan dapat membantu siswa miskin di sekitar lingkungan mereka”.
Merujuk pada al-Qur’an dan UUD ’45 serta pernyataan Mendiknas bahwa fakir miskin (siswa miskin) harus mendapatkan perhatian yang serius terutama dalam sektor pendidikan, memberi mereka kesempatan untuk meng-“install” ilmu pengetahuan dan menyuapi pikiran dengan “makanan” yang bergizi. karena dengan pendidikan mereka akan memiliki modal untuk berkompetisi dalam bekerja dan berkarya, sehingga dapat mencari dan memenuhi segala kebutuhannya. Hal ini sejalan dan sejalin dengan sebuah ungkapan “Berilah kami kail, jangan beri kami ikan”.
Bukan maksud untuk merendahkan apalagi menghina, bahwa fenomena fakir miskin dalam lembaga pendidikan banyak ditemukan disekolah-sekolah keagamaan (madrasah) dibanding dengan sekolah-sekolah umum, terlebih-lebih yang berstatus swasta. Ini agar menjadi data pemikiran bagi pemerintah dan pelaku pendidikan atau masyarakat pendidikan.

Solusi dan Harapan
Melirik program Wali Kota Cilegon yang lama (Bapak H.Tb.Aat Syafaat, s.sos, M.Si) tentang program bea siswa Keluarga Miskin (Gakin) yang sampai sekarang masih terus berjalan merupakan program yang sangat tepat dan akurat, baik dari sisi obyek sasaran maupun dari segi mekanisme pelaksanaannya. Di lapangan kami merasa tenang dan senang, tidak negatif thinking dan tidak merasa dianak tirikan, karena “bapakku” (pemerintah) tidak memandang sebelah mata.
Langkah itu sepatutnya kita jadikan contoh dan barometer, agar apa yang kita lakukan tepat pada orang yang memerlukan dan membutuhkan, karena jabatan itu amanat, maka barang siapa yang menyia-nyiakan amanat berarti hianat dan barang siapa yang hianat, maka akan mendapat laknat. Naudzubillahi min dzalik.
Saya yakin kepada pemerintah sekarang akan dapat menjalankan amanat dengan tepat yang disinari sifat-sifat para malaikat dalam membidik sasaran dengan panah-panah plaining yang dibingkai dengan UUD ’45 dan dibugkus dengan ajaran-ajaran qur’ani. Ini terbukti dengan sikap jantannya meminta untuk dikontrol pers dalam menjalankan tugasnya yang disampaikan dalam acara diskusi jurnalistik dengan wartawan beberapa hari yang lalu di Patra Anyar Beach Resort. Dengan sikap terbuka dari seorang pemimpin, maka Solusi akan menjadi prestasi, harapan akan menjadi kenyataan, perjuangan akan melahirkan pahlawan, dengan berlandaskan al-Qur’an. Marilah kita pikul bersama beban yang berat dan kita jinjing bersama beban yang ringan.

Selasa, 12 Oktober 2010

UJIAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN AGAMA

Oleh : Bang Moekti

Bismillahirrahmanirrahim.
Secara yuridis penyelenggaraan pendidikan kita dipayungi oleh Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistim pendidikan nasional. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Melihat payung hukum yang begitu kompleknya, maka pemerintah memberikan kebijakan yang belum tentu bijak dengan melakukan berbagai cara diantaranya merumuskan kurikulum dengan segala seluk-beluknya agar tercapainya tujuan-tujuan pendidikan yang diharapkan.
Target pendidikan yang diinginkan pemerintah adalah pendidikan yang menelorkan lulusan-lulusan yang baik dan dapat kompetitif (bersaing) dengan Negara-negara bekembang, bahkan dengan negara-negara maju. Sehingga standarisasi kelulusan yang ditentukan pemerintah setiap tahun mengalami kenaikan bak harga-harga sembako. Untuk tahun 2009 ini saja rata-rata minimal 5,50 jika ingin dinyatakan lulus.
Dengan adanya standar kelulusan tersebut diharapkan dapat menjadi pemicu bagi para peserta didik untuk lebih giat belajar dan bagi para pelaku pendidikan agar dapat mengoptimalkan kinerjanya dalam upaya mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Animo Pelajar Madrasah
Menghadapi Ujian akhir Nasional para siswa mempersiapkan diri dengan berbagai macam aktifitas belajar, baik yang dilaksanakan oleh madrasah-madrasah maupun oleh institusi-institusi yang bergerak dalam bidang pendidikan guna meningkatkan kemampuan, penguasaan dan keilmuannya. Hampir seluruh civitas madrasah bahkan sekolah-sekolah melakukan persiapan-persiapan dalam menghadapi hajat nasional yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN)- Bukan Hajatan Dangdut Mania. Bahkan sudah mempersiapkan diri dari mulai masuk sekolah.
Fenomena tersebut memang baik dan positif bahkan harus dilakukan, namun sungguh sangat ironis, ketika para pelajar madrasah sibuk dengan persiapan-persiapan ujian, mereka banyak yang melupakan identitas dirinya sebagai pelajar madrasah yang notabene merupakan pewaris ilmu-ilmu agama, namun tidak memeperhatikan lagi bahkan acuh tak acuh terhadap pelajaran-pelajaran agama. Hal ini bukan berarti dilarang untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat umum, tapi ini menjadikan ketidak sinergisan antara kecerdasan intelektual (Intelegensi Quotion) dan kecerdasan emosional (Emosional Quotion) lebih-lebih dengan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotion).
Ancaman dan Akibat
Menurut para ahli pada bidangnya masing-masing, bahwa manusia merupakan makhluk yang unik dan menarik yang diberi kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain didunia ini, dengan keunikan dan kelebihan yang dimiliki makhluk yang bernama manusia, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Kholdun bahwa manusia terlahir membawa bakat-bakat (potensi dasar). Manusia secara fitrah adalah baik dan beraqidah tauhid.
Seandainya kita merujuk dan mengacu pada teori fitrah yang diungkapkan Ibnu Kholdun tersebut, maka pendidikan kita masih sangat jauh dari apa yang dibutuhkan manusia. Terlebih sekarang para pelajar hanya dituntut untuk memiliki kecerdasan intelektual (Intelektual Quotion), padahal kecerdasan intelektual saja tidak akan dapat membawa kemajuan dan kemaslahatan dalam kehidupan tanpa didukung dengan adanya kecerdasan Emosinal (Emosional Quotion) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotion).
Pemerintah dengan segala kebijakannya terhadap pendidikan telah melakukan ketidakadilan dan ketidak harmonisan bahkan tidak konsekuen dengan apa yang telah dicita-citakan dalam undang-undang system pendidikan nasional. Disatu sisi merencanakan dan merumuskan konsep-konsep pendidikan yang mengarah pada potensi- potensi untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, namun disisi lain tidak memunculkan bahkan terkesan menutup-nutupi tentang materi-materi agama.
Hal ini terbukti dengan tidak dimasukannya pelajaran agama dalam pencapaian kelulusan pada ujian akhir nasional. Dan lebih menghawatirkan lagi para pelajar-pelajar madrasah banyak yang tidak memperdulikan lagi pelajaran-pelajaran yang menjadi identitasnya, bahkan menjauhinya karena yang ada dalam pikiran dan hasratnya adalah pelajaran-pelajaran yang di UN-Kan saja.
Apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka lambat laun generasi penerus bangsa ini akan menjadi manusia pemakan manusia (Amnifora) dengan segala intelektualnya, sementara kerdil dan gersang didalam batinya. Kondisi seperti ini diibaratkan orang gila yang memegang pisau, ia akan membabi buta dengan kekuatan teori-teori dan penemuannya.
Maka oleh karena itu, penulis hanya memberikan sebagian kecil aspirasi kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan para pendidik dan pengajar sebagai pelaksana dalam dunia pendidikan agar lebih mensinergiskan tiga kekuatan (power) yang dikaruniakan Allah swt bagi manusia yaitu Intelektual Quotion, Emosional Quotion dan Spiritual Quotion demi terciptanya Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofuur.
HAJI : GLADI RESIK KEMATIAN
Oleh : Bang Haji Mukti
Haji adalah rukum Islam yang kelima, yang dilaksanakan oleh orang-orang yang mampu, dimulai dari bulan syawal sampai bulan Dzulhijjah. Setiap kaum muslimin mendambakan untuk bisa menunaikan ibadah haji, karena ibadah haji itu unik dan menarik. Keunikan Ibadah haji terletak pada pelaksanaannya yang dibarengi dengan ibadah-ibadah lain, seperti Umroh dan berziarah ketempat-tempat suci dan bersejarah. Menariknya, karena dalam ibadah haji banyak tawaran-tawaran balasan (pahala) yang dapat menyelamatkan kehidupan dunia dan akhirat serta memiliki kenangan yang berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya. Seperti yang terukir dalam hadis Nabi : “ Haji yang mabrur tidak ada balasannya, kecuali surga”.
Dengan keunikan dan ketertarikannya itu sehingga banyak kaum muslimin berbondong-bondong mendaftarkan diri walaupun harus menunggu beberaapa tahun. Mereka rela antri (daftar tunggu) menunggu giliran untuk berangkat ketanah suci. Banyak jalan untuk dapat menunaikan ibadah haji,diantaranya adalah dengan menabung atau arisan. Bahkan ada yang membiayai, seperti yang kita ketahui: Pertama; adalah orang yang beruntung karena ditunjuk oleh pemerintah untuk menjadi pembimbing atau petugas yang melayani keperluan jamaah, jalan ini menurut sebagian orang sebagai “ Haji Nurdin Kosasih” (Haji Nurut dinas dan Ongkos Dikasih). Kedua, Sebagai tokoh Umat Islam yang dipilih perusahaan ONH-Plus untuk menyertai dan membimbing jamaah. Ketiga, “Haji Bonus” karena memenangkan perlombaan, seperti MTQ. Atau memenangkan sebuah hadiah. Keempat, “Haji Rekanan” yaitu Rekanan menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang menguntungkan dengan memberikan tiket haji, Kelima, “Haji Bisnis”, yaitu Penyelenggara bisnis haji.
Ini satu bukti bahwa ibadah haji memiliki daya tarik yang eklusif (istimewa). Dengan keistimewaan yang terdapat dalam ibadah haji, sehingga banyak orang yang merindukan dan mendambakannya untuk dapat menunaikannya, walaupun sudah pernah berhaji, bahkan berulang kali.
Latihan Kematian
Haji merupakan ibadah yang memerlukan persiapan-persiapan matang, baik fisik maupun non fisik. Secara fisik kita harus prima, karena dalam pelaksanaannya banyak memerlukan energi atau tenaga ekstra. Dari segi non fisik, jiwa kita harus siap dan mantap dengan niat yang baik lagi benar tanpa ada beban dan ganjalan dalam hati serta pikiran. Semata-mata hanya untuk memenuhi panggilan Allah SWT.
Mengutip pendapat Kang Jalal (Jalaludin Rahmat) dalam buku Renungan-Renungan Sufitik, Bahwa Haji merupakan Gladi Resik (Latihan) untuk kembali kepada Allah swt. Haji adalah Latihan kematian, karena kita meninggalkan tanah air, meninggalkan keluarga dan tetangga, meninggalkan pekerjaan dengan niat yang satu; yaitu ingin menemui Allah swt. Hal ini sejalan dan sejalin dengan makna kalimat Talbiyah : “ Ya Allah, kini aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu,.......”
Bukan maksud untuk menakut-nakuti Jamaah haji, namun sekedar memberikan sumbangan pemikiran bagi kaum muslimin yang pada tahun ini akan berangkat ke tanah suci atau saudara-saudaraku yang belum dapat giliran, bahwa haji merupakan ibadah yang memerlukan keteguhan hati, kebersihan dan ketulusan niat serta kesiapan batin. Ibarat menghadapi sebuah kematian, kita harus pasra (nerimo) atas ketentuan Allah swt sebagai dzat yang maha berhak dari segala apa yang kita miliki, termasuk diri kita.
Ibnu ‘Arabi, dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah (Keterbukaan di Makkah) menjelaskan, bahwa kita akan kembali kepada Allah dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang kembali dengan terpaksa ( ruju’ idhthirori ). Ada pula yang kembali dengan sukarela (ruju’ ikhtiyari). Kembali yang kedua inilah yang dilakukan oleh jamaah haji, seperti yang disebutkan dalam al-qur’an : “ Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu. Tuhanmu ridha kepadamu, kamupun ridha kepada Tuhanmu..........” (QS. 89:27).
Dengan kepasrahan dan keridhoan yang penuh kepada Allah swt, saya yakin harapan dan keinginan untuk menjadi haji mabrur akan didapat dan melekat. Dengan predikat kemabruran sebagai hasil dari training ruju’ ikhtiyari (menghadap Allah dengan senang hati), maka akan memiliki jiwa yang tenang dalam mengarungi kehidupan ini.
Akhirnya, saya panjatkan sebuah do’a : Ya Allah, berkatilah tamu-tamu-Mu dengan perbekalan yang cukup, bantulah mereka dalam menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji, Sirami mereka dengan ridha dan karunia-Mu, sejukkan hati dan jiwa mereka dengan kalimat-kalimat thoyibah-Mu, cucilah hati mereka dengan air zam-zam-Mu”. Selamat jalan tamu-tamu Allah (dhuyufur Rohman), semoga selamat sampai tujuan. Sampaikan salam kami kepada Rosulullah Muhammad saw. Do’akan kami, pemimpin-pemimin kami, keluarga kami, rakyat kami seluruh saudara kami, semoga menjadi masyarakat yang damai dan sejahtera. Kunanti kedatangan wajah barumu yang dibalut dengan kesucian jiwa, kesejukan aura batinmu serta kedalaman imanmu. Amiin

Rabu, 06 Oktober 2010

"MUDIK" KE KAMPUNG AKHIRAT

“MUDIK” KE KAMPUNG AKHIRAT
Oleh : Bang Haji Moekti
Tradisi “Mudik” atau pulang kampung sudah menjadi agenda tahunan bagi masyarakat Indonesia menjelang perayaan ‘Idul Fithri. Berbagai macam keinginan dan tujuan bagi orang yang melaksanakan mudik, ada yang ingin melepaskan rasa rindu akan kampung halaman, famili dan handai tolan karena sudah lama tak bertemu, ada juga yang kangen dengan makanan khas dihari lebaran, bahkan mungkin ada yang ingin “Pamer” kepada sahabat-sahabatnya atas keberhasilannya dinegeri orang. Namun terlepas dari semua itu, dengan perasaan husnu-Dzan, mayoritas para pemudik ingin berkumpul dengan keluarganya dan masyarakatnya pada hari nan fithri sambil berma’af-ma’afan. Lebih dari itu bekal yang dipersiapkan dan dibawa ke kampung halaman cukup berfariatif, dari mulai makanan sampai kado istimewa untuk orang-orang terkasih.
Sudah puluhan ‘Idul Fithri kita lewati, sebanyak itu pula kita merasakan suka dan duka. Setiap ‘Idul Fithri datang, ada saja diantara sanak keluarga, sahabat, tetangga atau seseorang yang kita kenal tidak berlebaran bersama kita. Mereka tidak merayakan ‘Idul fithri, tidak menggemakan takbir, tidak pergi ke Masjid atau pergi ketanah lapang, tidak kita lihat wajah ceria dan gembira, tidak dapat mengulurkan tangan untuk bermaaf-maafan. Mereka telah mendahului kita pulang ke alam baka, mereka telah lebih dahulu “Mudik” ke kampung yang abadi. Tahun ini mereka telah meninggalkan kita. Tahun depan bisa jadi kita yang akan meninggalkan mereka. Hari ini kita menangisi mereka, Esok atau lusa atau mungkin bulan depan kita yang akan ditangisi karib-kerabat dan sahabat. Karena setiap saat maut selalu datang menghampiri, tidak ada satu jiwa pun yang dapat melarikan diri dan menghindar dari kematian. Kematian sebuah keniscayaan dan kepastian yang tak dapat dielakkan. Hal ini dipertegas dengan firman Allah Swt. “ .......Setiap yang berjiwa, pasti akan mengalami kematian” (QS. Al-Anbiya (21): 35 dan QS. Ali Imron (3) : 185) .
Kematian merupakan hak yang pasti dialami oleh semua makhluk hidup. Kematian bukan akhir dari kehidupan, akan tetapi suatu skat atau batas yang menjadi garis transisi untuk memulai kehidupan yang baru dengaan suasana dan kondisi yang baru. Kematian adalah realitas yang tak terelakkan yang pasti akan datang dan akan mengakhiri serial drama kehidupan duniawi bagi setiap individu. Akan tetapi, karena kematian adalah sebuah realitas dan peristiwa pamungkas dari eksistensi kehidupan duniawi ini, maka banyak orang yang enggan bahkan mencoba dan berusaha untuk melupakan, acuh tak acuh dan tak mau memikirkan. dengan alasan bahwa sesuatu yang sudah pasti tidak perlu lagi dipikirkan.
Sebagai umat yang beragama (terutama Umat islam) dalam memandang dan menyikapi kepastian datangnya kematian, hendaknya lebih dewasa dan preventif agar tidak terjebak dalam kegagalan dan kehancuran hidup, maka sikap yang terbaik adalah menyiapkan diri untuk menyambutnya, seperti ketika kita bersiap-siap bahkan menanti datangnya hari pernikahan, hari ualng tahun, hari raya ‘Idul Fithri atau untuk bertamasya/berlibur ketempat yang sudah ditentukan. Kendati demikian, tingkat kepastiannya tidak dapat mengalahkan kepastian datangnya peristiwa kematian. Semakin baik seseorang dalam menyiapkan bekal, maka akan semakin tenang dalam menghadapinya.
Mengutip pendapat Prof.Dr. Komaruddin Hidayat dalam bukunya : Psikologi Kematian; beliau mengilustrasikan: Ada orang yang memandang hidup bagaikan rekreasi dan shopping untuk bekal yang dapat dinikmati dikampung akhirat nanti. Ketika rekreasi dan shopping, jangan membeli barang-barang yang tidak manfaat. Jangan keberatan barang yang malah mempersulit perjalanan pulang. Allah dan Rosul-Nya mengajarkan kita agar selalu berusaha memperberat timbangan kebaikan dari timbangan keburukan.
Ketika pulang dari Shiffin, Sayyidina Ali RA. Melewati pekuburan dipinggiran kota Kuffah. Beliau mengucapkan salam kepada ahli kubur, kemudian menoleh kepada sahabat-sahabatnya, sambil berkata: “ Demi Allah, sekiranya Allah mengizinkan mereka berbicara, mereka akan berkata: Sesungguhnya bekal yang paling baik adalah takwa “.
Bekal inilah yang sering kita abaikan. Setiap hari kita bekerja keras untuk bekal mudik beberapa hari kekampung halaman atau beberapa saat ketempat yang diinginkan. Tidak pernah terpikir bahwa kita harus bekerja keras mempersiapkan bekal mudik ketempat asal kita yang abadi. Bukan untuk beberapa hari, tetapi perjalanan yang jauh dan panjang. Berapa banyak diantara kita yang membanting tulang untuk persiapan masa tua dan pensiun yang hanya beberapa tahun atau beberapa bulan saja; tapi lupa untuk menyiapkan masa yang kekal setelah ajal menjemput kita.
Al-Qur’an melukiskan perilaku kita ketika “mudik” ke kampung akhirat nanti dalam Surat Al-Ghasyiyah (88) : 1-16 :
“ Sudahkah datang kepadamu peristiwa yang mengguncangkan
Wajah-wajah hari itu tunduk ketakutan
Terseok-seok kepayahan
Jatuh kedalam api yang sangat panas
Diberi minum dari mata air yang mendidih
Bagi mereka tidak ada makanan selain duri yang tidak menggemukkan dan tidak melepaskan rasa lapar
Wajah-wajah hari itu ceria dan gembira
Bahagia dengan segala hasil usahanya
Disurga yang tinggi
Takkan kaudengan di sana ucapan yang sia-sia
Di dalamnya ada mata air yang mengalir
Didalamnya ada ranjang-ranjang yang ditinggikan cawan-cawan yang diletakkan
Banta-bantal yang dibariskan
Dan permadani yang dihamparkan”.

Kita tidak tahu, apakah kita termasuk “ wujuhun khosyi’ah” ( wajah-wajah yang ketakutan), atau “wujuhun Na’imah” (Wajah-wajah ceria dan gembira). Dari dua opsi atau pilihan tersebut, tentunya menjadi bahan renungan bagi kita untuk selalu selektif dalam mengoprasikan seluruh potensi yang kita miliki, baik perasaan, ucapan maupun tindakan. Kita rekontruksi lagi seluruh tingkah laku kita yang kerdil dari sentuhan-sentuhan spiritual melalui ibadah puasa selama bulan romadhon, agar perjalanan sebelas bulan kedepan menjadi bekal “Mudik” ke kampung akhirat.

CATATAN HARIAN

Ahad, 1 Agustus 2010
Seperti biasanya, hari minggu dijadikan hari keluarga oleh sebagian orang, lain halnya dengan aku yang menjadikan hari ahad dalam bahasa Arab, itu sebagai hari untuk beraktaktifitas diluar rumah. Aktifitas yang saya lakukan itu adalah pengabdian di Madrasah. Tepatnya MA al-Khairiyah Karangtengah tempat saya dulu menuntut ilmu. Kini, ember setiap hari aku harus datang ketempat yang menjadi kebanggaan dan sarana untuk “bertahanus” mirip-mirip Gua Hiro, dalam mengembangkan dan mengekpresikan ide-ide yang terpendam.
Hari itu ada sesuatu yang beda dalam penampilanku, terasa sekali dari tatapan mata orang-orang yang melirik, Ghe err ni ye…… Lirikan yang mengandung sejuta kata Tanya (????? Banyak Amat) membuat penasaran dalam batinku, ada apa ini ? O o ternyata penampilan rambut kepala tak sesuai aturan, tidak sistematis (emangnya karya Ilmiyah? ) alias acak-acakan, pokoknya tak beres gitu. Singkat kata penampilan rambutku tak enak dipandang mata. Spontan aku panggil tukang cukur, e e salah, seseorang yang emb mencukur rambut, sebut saja namanya Falaqy (nama ember). Dengan serius dan teliti, dia (Falaqy) memotong mahkota kepalaku yang setengah hitam- setegah merah, ternyata goyangan sisir dan guntingnya menghasilkan sesuatu yang indah, seindah gunung yang dipandang saat aku duduk tenang merasakan nikmatnya dicukur Subhanallah.
Disaat kenikmatan yang aku rasakan belum habis, datang lagi kenikmatan yang lain, sehingga tak terbayangkan dalam pikiranku, betapa sayangnya sang Pencipta kepadaku. O ya, kenikmatan yang lain itu adalah ngobrol ngalor-ngidul yang tanpa judul, tapi syarat makna; atau juga dapat dikatakan diskusi, berbagi konsep dan informasi dengan orang-orang yang menjadi inspirasi dan motifasi dalam menjalankan dan menikmati hidup. Tapi anehnya hasil obrolan-obrolan itu tak mau hilang dan selalu terngiang dalam pikiranku, bahkan menjadi-jadi, ibarat sesuatu yang harus segera keluar. Akhirnya selepas sholat maghrib, aku berusaha menenangkan diri sambil merenungkan kembali hikmah apa yang dapat dipetik.
Rupanya Allah swt membuktikan kembali rasa sayang-Nya kepada hamba yang selalu melanggar ajaran-ajaran-Nya. Hal ini terbukti dengan meluncurnya ide-ide cemerlang dari pikiran Made-in Raja diraja yang dimiliki oleh setiap orang. Ide cemerlang itu adalah bagaimana menjadikan para pelajar, terutama para santri memiliki life skill, terutama dalam tulis menulis. Budaya tulis-menulis yang telah dicontohkan dan dilakukan oleh banyak Ulama terdahulu dengan hasil-hasil yang dijadikan referensi bagi umat manusia, cukup menjadi bukti bagi kita untuk segera mentransfer dan mengikat ilmu kedalam bentuk tulisan yang menjadi bukti sejarah bagi generasi setelah kita.
Ide-ide berilian itu saya tawarkan kepada anak-anak santri Al-Munawwaroh yang kebetulan sedang bermusawarah tentang kegiatan-kegiatan menjelang bulan suci ramadhan, semua santri bahkan ketua harian pondok pesantren merasa kaget dan terpesona memperhatikan paparan yang aku sampaikan, ini dapat dibuktikan dengan mimic yang berseri-seri dan penuh antusias dengan program atau yang diajukan tentang dunia tulis-menulis. Akhirnya semua bersepakat untuk memasukan materi jurnalistik kedalam agenda acara romadhon. Antusias santri yang terpancar menyejukkan bathinku, yang semula merasa ragu, bahkan dapat menghancurkan gumpalan-gumpalan kehawatiran yang bersemayam dalam pikiranku. Pak, jangan-jangan ini hanya program yang tak ada bukti, celetuk seorang santri yang duduk paling belakang diruangan serba guna itu. Rupanya santri itu merasa hawatir dari apa yang kita rencanakan hanya sebatas konsep tanpa ada realisasi kongkrit. Dia menambahkan bahwa iman juga tidak cukup dengan perkataan, tapi harus dibuktikan dengan perbuatan. Memang, konsep tidak akan memberikan manfaat yang bearti, manakalah tidak diwujudkan kedalam bentuk riil. Untuk membuktikan semua itu tentunya kita harus saling bahu-membahu, saling Take and give (menerima dan ember) satu sama lain, agar apa yang kita rencanakan dapat terrealisasi dengan baik, sehingga dapat dirasakan buahnya.
Intinya kita memerlukan kerjasama yang baik, dengan kerjasama kita akan memperoleh kekuatan, dengan kekuatan itu akan mempermudah pekerjaan yang berat. Dengan kata lain pekerjaan yang berat akan terasa ringan, seperti dalam pepatah : “Berat sama di pikul, Ringan sama dijinjing”. Dalam bahasa agama biasa disebut saling bantu-membantu atau tolong-menolong dalam kebaikan. Kita menyadari betul bahwa manusia adalah makhluk social, yang tak dapat hidup secara individual. Hal ini menjadi peringatan bahwa kita tidak dapat terlepas dari campur tangan orang lain, sekalipun seorang pejabat atau orang kaya, pasti memerlukan bantuan orang lain. Ini adalah fithroh yang tidak dapat dipungkiri, apalagi mau menghilangkan fithroh tersebut. Demikian syarahan atau interprestasi factual yang saya sampaikan sambil melirik ke kanan dan kekiri yang disambut dengan anggukan para santri sebagai bukti responsive. E.e e ternyata anggukan santri yang berada di barisan ujung sebelah kiri bukan anggukan persetujuan, tapi rasa kantuk yang tak tertahankan lagi. Sambil tersenyum simpuh, aku aukan pertanyaan kepada santri yang setengah sadar-setengah tidur, Dik.. dik… dik…. Tiga kali panggilanku tak direspon. Rupanya ia tertidur. Namun tiba-tiba dia terbangun sambil berkata: Ada apa ini ??? Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban itu disambut dengan gelegak tawa dari santri lain.
O ya, sekarang jam berapa? Tanyaku kepada ketua harian pesantren, Jam 23.15 menit pak, sahutnya, dengan wajah yang sudah lesu, sebagai pertanda datangnya rasa kantuk. Oke lah kalau begitu, dengan gaya keinggris-inggrisan, aku menutup pertemuan malam yang penuh kenangan dan hikmah itu.