Senin, 15 November 2010

MENSYUKURI NIKMAT DAN MEMBINA UMAT

Oleh : H. Muktilah, S.Ag, MM.Pd

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu
Atas rahmat dan karunia Allah swt, kini kita berjumpa kembali dan berada dalam bulan-bulan yang penuh dengan rahmat dan hidayah Allah swt. Dan juga penuh dengan peninggalan nilai-nilai luhur dan sejarah, oleh karena itu marilah kita senantiasa bertaqwa kepada Allah swt dengan sebenar-benarnya taqwa; yaitu taat menjalankan semua perintah Allah dan berusaha meninggalkan semua apa yang dilarangnya, baik dalam keadaan susah atau gembira, di waktu lapang atau sempit, dan juga dalam keadaan ramai atau sepi, sebab taqwa merupakan kewajiban bagi semua umat islam yang tidak boleh ditunda-tunda, agar kita selalu mendapatkan ridho Allah swt.
Dan Alhamdulillah pula usia kita dipanjangkaan oleh Allah swt sampai bertemu kembali dengan bulan ke-12 yaitu bulan Dzuhijjah atau bulan kurban, dimana bulan ini termasuk Arba’atu Hurum (Empat bulan yang dimuliakan). Karena Dzulhijjah bulan mulia, maka didalamnya terdapat berbagai paket amal yang khusus, yang tidak terdapat pada bulan-bulan yang lain, seperti haji, ibadah qurban dan lain-lain.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah membawa risalah kebenaran dari Allah, sehingga kita dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram, antara yang hasanah dan yang sayi’ah.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu
Dalam kesempatan yang baik ini, marilah kita mencoba menggali hikmah yang terkandung dalam bulan ini dengan mengumandangkan kalimat takbir, tahlil, tahmid dan tasbih yang kesemuanya merupakan kalimat tauhid, kalimat yang mencerminkan kemandirian Allah dalam setiap ihwalnya. Kalau kaum muslimin dalam merayakan Idul Adha ini dianjurkan untuk memperbanyak mengumandangkan kalimat-kalimat tersebut, maksudnya agar kaum muslimin tetap sadar dalam menjalani kehidupan ini. Betapapun besar tantangan, rintangan, hambatan dan cobaan serta ujian yang harus dihadapi, kita harus tetap tegar dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip tauhid. Kita tidak boleh bergeser sedikitpun dari akidah dan pandangan hidup yang kita yakini, yaitu inna sholati wa nusuki wa mahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu
Perlu disadari, jika Allah telah menggariskan keputusan-Nya dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56 bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah yang dilakukan manusia bukan untuk manfaat dan keuntungan Allah, tetapi sebaliknya semua yang dilakukan akan dikembalikan lagi kepada orang yang melakukannya sebagai bekal saat kembali menuju kehidupan akhirat.
Makin meningkat ibadah seseorang, makin meningkat pula manfaat dan keuntungan yang diiperolehnya, dan makin meningkat pula martabat serta kedudukannya, baik dihadapan sesama maupun dihadapan Allah swt. Sesuai dengan firman Allah QS. Al-Hujurat: 13
Aqidah yang kokoh dan benar akan melahirkan ibadah yang tulus dan benar. Ibadah yang tulus lagi benar akan melahirkan pribadi yang luhur yakni memiliki akhlakul karimah. Dan pribadi yang luhur, tentu akan melahirkan ketenangan dan kesejahteraan dalam kehidupan sesama.
Tiada jalan untuk membina dan membangun umat ini melainkan jalan yang telah diridhoi Allah swt. Jalan yang pernah dirintis oleh para Nabi dan Rasul terdahulu. Yaitu dengan membina dan meluruskan aqidah yang sesat atau keyakinan yang menyimpang dari garis-garis kebenaran. Paling tidak ada enam prinsip mendasar yang harus kita lakukan sebagai upaya pembinaan umat, yaitu:
1. Pembinaan itu harus dimulai dari diri sendiri (Ibda’ bin Nafsik). Kita harus bangkit dan membangkitkan semangat diri kita kembali, siap dan bersedia menerima kebenaran ilahi. Tekad dan semangat itu harus tumbuh dari diri kita masing-masing. Kita mesti benar-banar menyadari akan kelemahan dan kekurangan serta ketidak berdayaan kita. Sadar bahwa diri kita ini sebagai rentetan dari perjuangan demi perjuangan.
2. Bersedia mengagungkan dalam makna yang sebenarnya. Bukan hanya dengan lisan atau ucapan, tetapi dengan sikap dan perbuatan, kapan dan dimana saja kita berada. Sehingga seluruh sikap dan pola hidup kita mencerminkan sebagai seorang hamba yang mengagungkan sang Kholiknya. Segenap petunjuk Allah kita jadikan tuntunan dan pedoman bukan sebagai tontonan. Ajaran dan syariahnya kita jadikan sebagai tatanan dan aturan bukan sebagai ancaman dan hinaan. Ridho allah senantiasa sebagai acuan dan dambaan bukan sebagai ilusi dan hayalan.
3. Bersedia membersihkan pakaian hidup dari berbagai noda dan kotoran. Budaya, prilaku, pola, gaya, pandangan dan falsafah hidup yang tidak diridhoi Allah harus segera ditanggalkan dan ditinggalkan, satu-satunya yang harus dikenakan adalah libasut taqwa (pakaian ketaqwaan), sehingga dapat menuntun kita pada kemudahan-kemudahan, keberhasilan dan kesejahteraan serta kenyamanan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
4. Bersedia menyingkirkan dan menjauhkan berbagai kemaksiatan dalam berbagai bentuknya; sikap membangkang, angkuh, sombong dan sifat-sifat jelek lainnya, seperti perzinahan, mabuk-mabukan, pencurian dalam berbagai bentuknya harus disingkirkan jauh-jauh. Terutama syirik dalam bebagai wujudnya, karena semua itu bukan hanya akan mengotori peribadatan kita, lebih dari itu justru akan mendatangkan dosa dan malapetaka bagi kehidupan.
5. Tulus dalam berkorban. Perjuangan apapun bentuknya dan betapapun kecilnya pasti memerlukan pengorbanan. Oleh karena itu, jiwa pengorbanan harus senantiasa ditumbuh suburkan dan dikembangkan. Sikap kesediaan berkorban bagi kaum muslimin sebenarnya telah menyatu dengan akidahnya ketika ia mengucapkan kalimat tauhid, sejak itulah ia telah bersedia mengorbankan harta, jiwa dan raganya yang merupakan transaksi antara seorang hamba dengan tuhannya.
6. Bersikap sabar, tabah, tegak dan tegar serta istiqomah dalam menjalankan aturan-aturan agama, sikap ini perlu terus ditanamkan di hati kaum muslimin agar kualitas hidup dan kehidupan semakin meningkat.

Prinsip-prinsip seperti itulah yang telah dijalankan oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam menjalankan segala perintah-Nya. Seperti kisah Nabi Muhammad saw dan Nabi Ibrahim As yang telah banyak menghiasi Al-Qur’an dan dinyatakan oleh Allah swt sebagai uswatun hasanah, yaitu dalam QS. Al-Ahzab : 21

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجوا الله واليوم الأخر وذكر الله كثيرا.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Dan QS. Al-Mumtahanah: 24
لقد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه.....

“Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia…….”

Nampak jelas dalam dua ayat itu, bahwa Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim serta orang-orang yang bersamanya merupakan panutan dan cerminan bagi kita umat islam dalam segala aspek kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Dalam QS. Ash-Shoffat : 102 ditegaskan pula, bahwa ketika Nabi Ibrahim menerima wahyu untuk menyembelih putranya yang bernama Ismail, beliau menyatakan:

فلما بلغ السعي قال يبني إني أرى في المنام أني اذبحك فانظر ماذا ترى

“Wahai anakku, sesungguhnya saya menerima wahyu untuk menyembelih kamu, bagaimana pendapatmu?”

Meskipun Nabi Ibrahim mempunyai kekuasaan terhadap putranya secara penuh, tetapi beliau tidak memaksakan isi wahyu itu kepada putranya, beliau memberikan kesempatan untuk berfikir dan memberikan kebebasan untuk mengungkapkan pendapat.
Tindakan Nabi Ibrahim semacam ini perlu dijadikan cermin dan ibrah bagi orang tua, pendidik maupun penguasa. Orang tua jangan sekali-kali memaksakan suatu kehendak sendiri kepada anaknya, mereka harus diajak berfikir secara rasional, bukan diktator yang diajarkan kepada mereka. Seorang guru harus dapat menjadi contoh dan memberikan pengetahuan tentang berpendapat dan menghargai pendapat orang lain. Dan bagi penguasa, hendaknya memberikan keputusan dan kebijakan yang dapat menguntungkan rakyatnya, mementingkan kepentingan masyarakat diatas kepentingan sendiri atau golongan.
Kita kaji secara mendalam bahwa sewaktu Nabi Ibrahim memperbaiki ka’bah maupun sewaktu akan menyembelih putra kesayangannya, tidak terlepas dari tiga unsur, yaitu Nabi Ibrahim dari unsur angkatan tua, Nabi Ismail dari unsur angkatan muda dan Siti Hajar dari unsur angkatan wanita.
Demikian pula kita hidup di tengah-tengah masyarakat untuk dapat terwujudnya pembangunan fisik maupun mental, tidak boleh meninggalkan salah satu dari ketiga unsur itu. Karena memang ketiga-tiganya merupakan bagian terbesar dari unsur-unsur yang lain.
Dalam rangka regenerasi dan pengkaderan, sebaiknya memang anak-anak kita harus diberi kepercayaan untuk menerima estafet dari apa yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya.
Demikianlah prinsip-prinsip dan ibrah yang perlu diperhatikan kembali dan dikaji ulang dalam rangka membina diri dan umat agar kita selamat di dunia dan akhirat. Semoga Idul Adha tahun ini mampu menggugah dan membangkitkan kesadaran dan kealpaan kaum muslimin untuk bangkit dan tampil sebagai khairul ummah dalam menata kehidupan. Dan semoga menjadi tameng dan benteng kehidupan dari berbagai macam ujian, cobaan, bencana dan malapetaka yang akhir-akhir ini melanda ibu pertiwi.
Akhirnya semoga khutbah singkat ini dapat dijadikan sebagai Watawa Saubil Hak Watawa Shaubis Shobr. Amin Ya Robbal ‘alamin.

جعلنا الله وإياكم من العائدين والفائزين. وادخلنا واياكم في زمرة عباده المجاهدين. أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. إنا أعطينا كالكوثر. فصلّ لربك وانحر. إنّ شانئك هو الأبتر. وقل ربّ اغفر وارحم وانت خير الرّاحمين.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar